Minggu, 06 April 2014

Bangkit Dari Menganggur

Kini sangat banyak orang yang menganggur. Baik laki-laki ataupun perempuan. Mereka tidak ada pekerjaan yang bisa memberikan pendapatan untuk kebutuhan mereka. Mereka tak tau apa yang harus mereka kerjakan. Karena kekurangan ketrampilan, ditambah dengan penyakit malas untuk pekerjaan yang berat dan kotor, bersantai di balai-balai tempat nongkrong menjadi pilihan. Di sana, di balai santai itu, mereka dapat menciptakan segalanya. Di sana mereka menjadi diri aslinya mereka. Dari tempat itu mereka dapat “berjalan” mengililingi dunia. Jangkauan perjalanan mereka melebihi tour yang dilakukan bintang selebritis dunia, dan kunjungan kepala negara yang tengah sibuk menjalin kerja sama antar negara. Setiap tempat-tempat indah dan kesohor di pelosok dunia berhasil mereka “ziarah” dan “menikmati” segenap keindahannya, dari balai itu. Suatu hal yang indah sekali, sangat menyenangkan. Semua orang menyukainya.

Dari tempat santai tersebut mereka juga sukses mengumpulkan banyak kemenangan dan keberhasilan. Mulai dari selesai menanam padi, kopi, coklat, sampai kepada tanaman yang pernah mereka dengar menjadi bahan baku minyak pesawat terbang. Penyelesaian sebuah masalah yang ada dalam masyarakat juga berhasil mereka kelarkan pada tempat itu. Di sana mereka dapat melahirkan tips-tips mengantisapasi aliran sesat yang tengah menjadi kecemasan masyarakat akhir-akhir ini. Juga cara meluruskan mereka yang telah terlanjur sesat dan masuk dalam jamaah yang menjerumuskan itu. Bahkan, dari tempat itu mereka berkontribusi kepada semua pihak yang bertanggungjawab kepada masalah aliran yang menyeleweng tersebut. Kepala pemerintahan, kepala badan instansi terkait, bahkan ketua MPU, dan sampai kepada aktivis yang ada dalam sebuah lembaga sosial, mendapatkan asumsi brillian mereka, dari tempat itu.

Menjadi kepala desa, camat, polisi, tentara, bupati, wali kota, bigboss sebuah perusahaan, anggota DPR, sang orator yang sangat vokal beragitasi, bintang film, pemain senetron, mujahidin, gubernur, bahkan presiden, sampai kepada pembom bunuh diri juga mereka perankan di sana. Mereka selalu menjadi orang terkenal dan ngetop. Banyak wanita mendambakan mereka. Orang tua mengharapkan menantunya seperti mereka dari gadisnya yang cantik dan menjadi buah bibir semua remaja. Massa mengelu-elukan mereka karena sikap kepahlawanannya. Simpati dan respeks datang dari semua kalangan. Mendapat pujian dan penghargaan setinggi langit dari orang-orang. Mereka adalah sang idolanya dari semua para idola. Begitu yang kerap mereka “peran hayalkan” dari ‘bale angen’ itu.

Orang-orang pemalas tersebut duduk bernostalgia dan berfantasi indah di balai tersebut, mulai dari bangun pagi, pukul dua jam sebelum waktu salat zuhur tiba, sampai semua khazanah kehidupan usai mereka diskusikan. Semua yang mereka “tanamkan” dapat langsung mereka “panenkan” di sana. Tidak jarang mereka membagikan langsung hasil panennya. Kopi mereka pesan pada warung yang ada di sekitar. Tambah lagi, bila pesanan kali pertama keburu habis. Begitulah saban hari mereka lakukan. Dengan aktor yang sama.

“Kalau kita tanamkan coklat empat hektar di tanah kosong itu berapa kira-kira membutuhkan modalnya” sebuah pertanyaan mengemuka dari forum itu. Salah seorang dari mereka melemparkan pertanyaaan kepada semua yang ada di sana. Asap rokok mengepul seperti asap dari sebuah pembakaran. Mereka berlomba dalam memperbanyak kumpulan benda ringan yang beterbangan itu. Rokok, memberikan ketenangan pada setiap tarikannya, kata mereka.

“tergantung berapa banyak jumlah coklatnya” jawab yang duduk paling tengah.

“yang pasti setiap batang coklat menghabiskan modalnya sekitar 30000. Itu sudah termasuk ongkos perawatan coklat itu sampai panen.”

Berarti untuk empat hektar yang katakanlah bermuatan seribu batang membutuhkan biaya 30 juta. Kalau kita kalikan dengan hasil yang bisa kita dapatkan dari satu batang 100000 dengan harga pasaran, maka jumlah uang yang kita dapatkan mencapai 100 juta. Wah, kita bakal kaya. Bisa belikan sepeda motor baru. Gantiin tivi dengan yang lebih besar dan pakai perangkat digital. Pergi belanja ke supermarket dengan membawa istri dan anak…

Kopi pun kembali mereka pesan pada pelayan di warung di samping balai itu. Lengkap dengan rokok tentunya. Panamas. Mereka membakar dan menyulut lagi rokok itu. Asik!

Tiba-tiba sebuah suara datang memecahakan keseriusan diskursus mereka. Suara itu dari seorang wanita. Dia berdiri di tempat yang agak jauh dari orang-orang itu. Suara itu memanggil sebuah nama. Firdaus! Seperti nama surga. Bagus. Entah empunyanya.

Calon toke coklat yang kaya mendadak tadi ternyata yang bernama firdaus. Dia memberikan perhatian kepada suara itu. Ternyata kakaknya.

“ya, aku di sini. Kenapa?” jawab lelaki itu.

“istrimu sakit. Dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Dia terjadi pendarahan.”
Duk! Detak jantung firdaus mengelitik. Sendi tulang-belulangnya nyilu. Dia tidak punya uang serupiah pun. Dimana dia harus mencari uang. Dalam waktu yang semendadak ini, jangankan mencari berutang pun dengan pembayaran lebih bahkan tidak mudah mendapatkannya.

“Nuh, tulis kopi ya. Kopi tiga, rokok dua.”

Firdaus segera beranjak dari tempat itu. Ditinggalkan temannya tanpa ada pamitan. Pikirannya tengah memikirkan dimana dia bisa pinjam uang. Yang tinggal di balai itu juga sudah pada diam. Mereka menunggu bagaimana berjalannya keadaan.

“kita nyusul firdaus, yuk. Mungkin dia perlu pertolongan.” Ajak yang lebih tua dari mereka. Semua mereka beranjak dari balai itu menyusul langkahnya firdaus…

Begitulah… ilustrasi dari sebuah balai pengangguran. Dan keadaan yang ada di sana. Mereka sebenarnya masih punya hati dan nurani yang baik. Mereka memiliki sikap tenggang rasa yang besar. Namun sangat disayangkan mereka tidak punya pekerjaan tetap. Juga tidak punya semangat untuk bekerja dengan apa yang dapat mereka lakukan. Begitulah yang kerap kita temukan nyaris pada setiap tempat. Masyarakat malas. Mereka lebih memilih duduk berandehoi di pos jaga daripada bekerja. Padahal mereka punya tanggungjawab yang besar. Anak dan istri di rumah menanti nafkah kebutuhan dari mereka. Sangat memiriskan. Di samping mereka telah sangat morat marit dengan kehidupan yang ada. Mereka juga tidak dekat dengan agama. Mereka kebanyakan tidak mengerjakan perintah agama. Mereka tidak laksanakan syariat. Mereka tidak sembahyang.

Manusia seperti itu telah menimpa kerugian di dua buah alam. Dunia sudah jelas tertimpa kemiskinan. Akhirat pun bisa diterkakan bagaimana jadinya bila syariat tidak dijalankan. Neraka! Pedihnya tiada tara. Lebih pedih dari kemiskinan. Lebih sakit dari pesakitan. Dia adalah kenyataan. Dia adalah fakta. Tinggal menunggu waktunya saja.

Pemerintah harus berupaya menghilangkan keadaan demikian. Bagaimana caranya meminimalisirkan penyakit kemalasan yang telah sangat menjamur itu. Dia merata hampir di setiap tempat. Di desa juga di kota. Kalangan muda juga mereka yang telah tua. Mereka adalah komponen bangsa. Mereka merupakan aset negara. Mereka umat yang mulia. Yang tidak berada dalam keadaan yang mengesankan kehinaan demikian. Mereka punya hati. Mereka punya nurani. Mereka adalah manusia. Mereka adalah sama seperti kebanyakan manusia yang tidak seperti mereka dalam keadaan kehidupan. Adakah yang peduli dengan mereka. Atau justru kita juga bagian dari mereka.

Waktu masih ada. Kesempatan untuk mengubah keadaan belum tertutup. Pintu kemenangan dalam kesuksesan masih terbuka. Kemauan untuk hidup mulia belum berakhir. Tuhan masih menerima taubat kita. Berobahlah sebelum kamu digilas oleh perobahan. Putarlah haluan sebelum kapal tenggelam. Mulailah dari sekarang. Masih mungkin. Belum mustahil. Masih ada waktu untuk mencoba mengajak jiwa untuk tidak begitu cinta kepada pos jaga. Masih bisa memutuskan kebiasaan duduk santai di balai pembodohan. Semua masih mungkin. Belum mustahil! Untuk bangkit dari menganggur!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar