Minggu, 06 April 2014

Bangkit Dari Menganggur

Kini sangat banyak orang yang menganggur. Baik laki-laki ataupun perempuan. Mereka tidak ada pekerjaan yang bisa memberikan pendapatan untuk kebutuhan mereka. Mereka tak tau apa yang harus mereka kerjakan. Karena kekurangan ketrampilan, ditambah dengan penyakit malas untuk pekerjaan yang berat dan kotor, bersantai di balai-balai tempat nongkrong menjadi pilihan. Di sana, di balai santai itu, mereka dapat menciptakan segalanya. Di sana mereka menjadi diri aslinya mereka. Dari tempat itu mereka dapat “berjalan” mengililingi dunia. Jangkauan perjalanan mereka melebihi tour yang dilakukan bintang selebritis dunia, dan kunjungan kepala negara yang tengah sibuk menjalin kerja sama antar negara. Setiap tempat-tempat indah dan kesohor di pelosok dunia berhasil mereka “ziarah” dan “menikmati” segenap keindahannya, dari balai itu. Suatu hal yang indah sekali, sangat menyenangkan. Semua orang menyukainya.

Dari tempat santai tersebut mereka juga sukses mengumpulkan banyak kemenangan dan keberhasilan. Mulai dari selesai menanam padi, kopi, coklat, sampai kepada tanaman yang pernah mereka dengar menjadi bahan baku minyak pesawat terbang. Penyelesaian sebuah masalah yang ada dalam masyarakat juga berhasil mereka kelarkan pada tempat itu. Di sana mereka dapat melahirkan tips-tips mengantisapasi aliran sesat yang tengah menjadi kecemasan masyarakat akhir-akhir ini. Juga cara meluruskan mereka yang telah terlanjur sesat dan masuk dalam jamaah yang menjerumuskan itu. Bahkan, dari tempat itu mereka berkontribusi kepada semua pihak yang bertanggungjawab kepada masalah aliran yang menyeleweng tersebut. Kepala pemerintahan, kepala badan instansi terkait, bahkan ketua MPU, dan sampai kepada aktivis yang ada dalam sebuah lembaga sosial, mendapatkan asumsi brillian mereka, dari tempat itu.

Menjadi kepala desa, camat, polisi, tentara, bupati, wali kota, bigboss sebuah perusahaan, anggota DPR, sang orator yang sangat vokal beragitasi, bintang film, pemain senetron, mujahidin, gubernur, bahkan presiden, sampai kepada pembom bunuh diri juga mereka perankan di sana. Mereka selalu menjadi orang terkenal dan ngetop. Banyak wanita mendambakan mereka. Orang tua mengharapkan menantunya seperti mereka dari gadisnya yang cantik dan menjadi buah bibir semua remaja. Massa mengelu-elukan mereka karena sikap kepahlawanannya. Simpati dan respeks datang dari semua kalangan. Mendapat pujian dan penghargaan setinggi langit dari orang-orang. Mereka adalah sang idolanya dari semua para idola. Begitu yang kerap mereka “peran hayalkan” dari ‘bale angen’ itu.

Orang-orang pemalas tersebut duduk bernostalgia dan berfantasi indah di balai tersebut, mulai dari bangun pagi, pukul dua jam sebelum waktu salat zuhur tiba, sampai semua khazanah kehidupan usai mereka diskusikan. Semua yang mereka “tanamkan” dapat langsung mereka “panenkan” di sana. Tidak jarang mereka membagikan langsung hasil panennya. Kopi mereka pesan pada warung yang ada di sekitar. Tambah lagi, bila pesanan kali pertama keburu habis. Begitulah saban hari mereka lakukan. Dengan aktor yang sama.

“Kalau kita tanamkan coklat empat hektar di tanah kosong itu berapa kira-kira membutuhkan modalnya” sebuah pertanyaan mengemuka dari forum itu. Salah seorang dari mereka melemparkan pertanyaaan kepada semua yang ada di sana. Asap rokok mengepul seperti asap dari sebuah pembakaran. Mereka berlomba dalam memperbanyak kumpulan benda ringan yang beterbangan itu. Rokok, memberikan ketenangan pada setiap tarikannya, kata mereka.

“tergantung berapa banyak jumlah coklatnya” jawab yang duduk paling tengah.

“yang pasti setiap batang coklat menghabiskan modalnya sekitar 30000. Itu sudah termasuk ongkos perawatan coklat itu sampai panen.”

Berarti untuk empat hektar yang katakanlah bermuatan seribu batang membutuhkan biaya 30 juta. Kalau kita kalikan dengan hasil yang bisa kita dapatkan dari satu batang 100000 dengan harga pasaran, maka jumlah uang yang kita dapatkan mencapai 100 juta. Wah, kita bakal kaya. Bisa belikan sepeda motor baru. Gantiin tivi dengan yang lebih besar dan pakai perangkat digital. Pergi belanja ke supermarket dengan membawa istri dan anak…

Kopi pun kembali mereka pesan pada pelayan di warung di samping balai itu. Lengkap dengan rokok tentunya. Panamas. Mereka membakar dan menyulut lagi rokok itu. Asik!

Tiba-tiba sebuah suara datang memecahakan keseriusan diskursus mereka. Suara itu dari seorang wanita. Dia berdiri di tempat yang agak jauh dari orang-orang itu. Suara itu memanggil sebuah nama. Firdaus! Seperti nama surga. Bagus. Entah empunyanya.

Calon toke coklat yang kaya mendadak tadi ternyata yang bernama firdaus. Dia memberikan perhatian kepada suara itu. Ternyata kakaknya.

“ya, aku di sini. Kenapa?” jawab lelaki itu.

“istrimu sakit. Dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Dia terjadi pendarahan.”
Duk! Detak jantung firdaus mengelitik. Sendi tulang-belulangnya nyilu. Dia tidak punya uang serupiah pun. Dimana dia harus mencari uang. Dalam waktu yang semendadak ini, jangankan mencari berutang pun dengan pembayaran lebih bahkan tidak mudah mendapatkannya.

“Nuh, tulis kopi ya. Kopi tiga, rokok dua.”

Firdaus segera beranjak dari tempat itu. Ditinggalkan temannya tanpa ada pamitan. Pikirannya tengah memikirkan dimana dia bisa pinjam uang. Yang tinggal di balai itu juga sudah pada diam. Mereka menunggu bagaimana berjalannya keadaan.

“kita nyusul firdaus, yuk. Mungkin dia perlu pertolongan.” Ajak yang lebih tua dari mereka. Semua mereka beranjak dari balai itu menyusul langkahnya firdaus…

Begitulah… ilustrasi dari sebuah balai pengangguran. Dan keadaan yang ada di sana. Mereka sebenarnya masih punya hati dan nurani yang baik. Mereka memiliki sikap tenggang rasa yang besar. Namun sangat disayangkan mereka tidak punya pekerjaan tetap. Juga tidak punya semangat untuk bekerja dengan apa yang dapat mereka lakukan. Begitulah yang kerap kita temukan nyaris pada setiap tempat. Masyarakat malas. Mereka lebih memilih duduk berandehoi di pos jaga daripada bekerja. Padahal mereka punya tanggungjawab yang besar. Anak dan istri di rumah menanti nafkah kebutuhan dari mereka. Sangat memiriskan. Di samping mereka telah sangat morat marit dengan kehidupan yang ada. Mereka juga tidak dekat dengan agama. Mereka kebanyakan tidak mengerjakan perintah agama. Mereka tidak laksanakan syariat. Mereka tidak sembahyang.

Manusia seperti itu telah menimpa kerugian di dua buah alam. Dunia sudah jelas tertimpa kemiskinan. Akhirat pun bisa diterkakan bagaimana jadinya bila syariat tidak dijalankan. Neraka! Pedihnya tiada tara. Lebih pedih dari kemiskinan. Lebih sakit dari pesakitan. Dia adalah kenyataan. Dia adalah fakta. Tinggal menunggu waktunya saja.

Pemerintah harus berupaya menghilangkan keadaan demikian. Bagaimana caranya meminimalisirkan penyakit kemalasan yang telah sangat menjamur itu. Dia merata hampir di setiap tempat. Di desa juga di kota. Kalangan muda juga mereka yang telah tua. Mereka adalah komponen bangsa. Mereka merupakan aset negara. Mereka umat yang mulia. Yang tidak berada dalam keadaan yang mengesankan kehinaan demikian. Mereka punya hati. Mereka punya nurani. Mereka adalah manusia. Mereka adalah sama seperti kebanyakan manusia yang tidak seperti mereka dalam keadaan kehidupan. Adakah yang peduli dengan mereka. Atau justru kita juga bagian dari mereka.

Waktu masih ada. Kesempatan untuk mengubah keadaan belum tertutup. Pintu kemenangan dalam kesuksesan masih terbuka. Kemauan untuk hidup mulia belum berakhir. Tuhan masih menerima taubat kita. Berobahlah sebelum kamu digilas oleh perobahan. Putarlah haluan sebelum kapal tenggelam. Mulailah dari sekarang. Masih mungkin. Belum mustahil. Masih ada waktu untuk mencoba mengajak jiwa untuk tidak begitu cinta kepada pos jaga. Masih bisa memutuskan kebiasaan duduk santai di balai pembodohan. Semua masih mungkin. Belum mustahil! Untuk bangkit dari menganggur!

Sabtu, 05 April 2014

Bangkit Dari Menganggur

Kini sangat banyak orang yang menganggur. Baik laki-laki ataupun perempuan. Mereka tidak ada pekerjaan yang bisa memberikan pendapatan untuk kebutuhan mereka. Mereka tak tau apa yang harus mereka kerjakan. Karena kekurangan ketrampilan, ditambah dengan penyakit malas untuk pekerjaan yang berat dan kotor, bersantai di balai-balai tempat nongkrong menjadi pilihan. Di sana, di balai santai itu, mereka dapat menciptakan segalanya. Di sana mereka menjadi diri aslinya mereka. Dari tempat itu mereka dapat “berjalan” mengililingi dunia. Jangkauan perjalanan mereka melebihi tour yang dilakukan bintang selebritis dunia, dan kunjungan kepala negara yang tengah sibuk menjalin kerja sama antar negara. Setiap tempat-tempat indah dan kesohor di pelosok dunia berhasil mereka “ziarah” dan “menikmati” segenap keindahannya, dari balai itu. Suatu hal yang indah sekali, sangat menyenangkan. Semua orang menyukainya.

Dari tempat santai tersebut mereka juga sukses mengumpulkan banyak kemenangan dan keberhasilan. Mulai dari selesai menanam padi, kopi, coklat, sampai kepada tanaman yang pernah mereka dengar menjadi bahan baku minyak pesawat terbang. Penyelesaian sebuah masalah yang ada dalam masyarakat juga berhasil mereka kelarkan pada tempat itu. Di sana mereka dapat melahirkan tips-tips mengantisapasi aliran sesat yang tengah menjadi kecemasan masyarakat akhir-akhir ini. Juga cara meluruskan mereka yang telah terlanjur sesat dan masuk dalam jamaah yang menjerumuskan itu. Bahkan, dari tempat itu mereka berkontribusi kepada semua pihak yang bertanggungjawab kepada masalah aliran yang menyeleweng tersebut. Kepala pemerintahan, kepala badan instansi terkait, bahkan ketua MPU, dan sampai kepada aktivis yang ada dalam sebuah lembaga sosial, mendapatkan asumsi brillian mereka, dari tempat itu.

Menjadi kepala desa, camat, polisi, tentara, bupati, wali kota, bigboss sebuah perusahaan, anggota DPR, sang orator yang sangat vokal beragitasi, bintang film, pemain senetron, mujahidin, gubernur, bahkan presiden, sampai kepada pembom bunuh diri juga mereka perankan di sana. Mereka selalu menjadi orang terkenal dan ngetop. Banyak wanita mendambakan mereka. Orang tua mengharapkan menantunya seperti mereka dari gadisnya yang cantik dan menjadi buah bibir semua remaja. Massa mengelu-elukan mereka karena sikap kepahlawanannya. Simpati dan respeks datang dari semua kalangan. Mendapat pujian dan penghargaan setinggi langit dari orang-orang. Mereka adalah sang idolanya dari semua para idola. Begitu yang kerap mereka “peran hayalkan” dari ‘bale angen’ itu.

Orang-orang pemalas tersebut duduk bernostalgia dan berfantasi indah di balai tersebut, mulai dari bangun pagi, pukul dua jam sebelum waktu salat zuhur tiba, sampai semua khazanah kehidupan usai mereka diskusikan. Semua yang mereka “tanamkan” dapat langsung mereka “panenkan” di sana. Tidak jarang mereka membagikan langsung hasil panennya. Kopi mereka pesan pada warung yang ada di sekitar. Tambah lagi, bila pesanan kali pertama keburu habis. Begitulah saban hari mereka lakukan. Dengan aktor yang sama.

“Kalau kita tanamkan coklat empat hektar di tanah kosong itu berapa kira-kira membutuhkan modalnya” sebuah pertanyaan mengemuka dari forum itu. Salah seorang dari mereka melemparkan pertanyaaan kepada semua yang ada di sana. Asap rokok mengepul seperti asap dari sebuah pembakaran. Mereka berlomba dalam memperbanyak kumpulan benda ringan yang beterbangan itu. Rokok, memberikan ketenangan pada setiap tarikannya, kata mereka.

“tergantung berapa banyak jumlah coklatnya” jawab yang duduk paling tengah.

“yang pasti setiap batang coklat menghabiskan modalnya sekitar 30000. Itu sudah termasuk ongkos perawatan coklat itu sampai panen.”

Berarti untuk empat hektar yang katakanlah bermuatan seribu batang membutuhkan biaya 30 juta. Kalau kita kalikan dengan hasil yang bisa kita dapatkan dari satu batang 100000 dengan harga pasaran, maka jumlah uang yang kita dapatkan mencapai 100 juta. Wah, kita bakal kaya. Bisa belikan sepeda motor baru. Gantiin tivi dengan yang lebih besar dan pakai perangkat digital. Pergi belanja ke supermarket dengan membawa istri dan anak…

Kopi pun kembali mereka pesan pada pelayan di warung di samping balai itu. Lengkap dengan rokok tentunya. Panamas. Mereka membakar dan menyulut lagi rokok itu. Asik!

Tiba-tiba sebuah suara datang memecahakan keseriusan diskursus mereka. Suara itu dari seorang wanita. Dia berdiri di tempat yang agak jauh dari orang-orang itu. Suara itu memanggil sebuah nama. Firdaus! Seperti nama surga. Bagus. Entah empunyanya.

Calon toke coklat yang kaya mendadak tadi ternyata yang bernama firdaus. Dia memberikan perhatian kepada suara itu. Ternyata kakaknya.

“ya, aku di sini. Kenapa?” jawab lelaki itu.

“istrimu sakit. Dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Dia terjadi pendarahan.”
Duk! Detak jantung firdaus mengelitik. Sendi tulang-belulangnya nyilu. Dia tidak punya uang serupiah pun. Dimana dia harus mencari uang. Dalam waktu yang semendadak ini, jangankan mencari berutang pun dengan pembayaran lebih bahkan tidak mudah mendapatkannya.

“Nuh, tulis kopi ya. Kopi tiga, rokok dua.”

Firdaus segera beranjak dari tempat itu. Ditinggalkan temannya tanpa ada pamitan. Pikirannya tengah memikirkan dimana dia bisa pinjam uang. Yang tinggal di balai itu juga sudah pada diam. Mereka menunggu bagaimana berjalannya keadaan.

“kita nyusul firdaus, yuk. Mungkin dia perlu pertolongan.” Ajak yang lebih tua dari mereka. Semua mereka beranjak dari balai itu menyusul langkahnya firdaus…

Begitulah… ilustrasi dari sebuah balai pengangguran. Dan keadaan yang ada di sana. Mereka sebenarnya masih punya hati dan nurani yang baik. Mereka memiliki sikap tenggang rasa yang besar. Namun sangat disayangkan mereka tidak punya pekerjaan tetap. Juga tidak punya semangat untuk bekerja dengan apa yang dapat mereka lakukan. Begitulah yang kerap kita temukan nyaris pada setiap tempat. Masyarakat malas. Mereka lebih memilih duduk berandehoi di pos jaga daripada bekerja. Padahal mereka punya tanggungjawab yang besar. Anak dan istri di rumah menanti nafkah kebutuhan dari mereka. Sangat memiriskan. Di samping mereka telah sangat morat marit dengan kehidupan yang ada. Mereka juga tidak dekat dengan agama. Mereka kebanyakan tidak mengerjakan perintah agama. Mereka tidak laksanakan syariat. Mereka tidak sembahyang.

Manusia seperti itu telah menimpa kerugian di dua buah alam. Dunia sudah jelas tertimpa kemiskinan. Akhirat pun bisa diterkakan bagaimana jadinya bila syariat tidak dijalankan. Neraka! Pedihnya tiada tara. Lebih pedih dari kemiskinan. Lebih sakit dari pesakitan. Dia adalah kenyataan. Dia adalah fakta. Tinggal menunggu waktunya saja.

Pemerintah harus berupaya menghilangkan keadaan demikian. Bagaimana caranya meminimalisirkan penyakit kemalasan yang telah sangat menjamur itu. Dia merata hampir di setiap tempat. Di desa juga di kota. Kalangan muda juga mereka yang telah tua. Mereka adalah komponen bangsa. Mereka merupakan aset negara. Mereka umat yang mulia. Yang tidak berada dalam keadaan yang mengesankan kehinaan demikian. Mereka punya hati. Mereka punya nurani. Mereka adalah manusia. Mereka adalah sama seperti kebanyakan manusia yang tidak seperti mereka dalam keadaan kehidupan. Adakah yang peduli dengan mereka. Atau justru kita juga bagian dari mereka.


Waktu masih ada. Kesempatan untuk mengubah keadaan belum tertutup. Pintu kemenangan dalam kesuksesan masih terbuka. Kemauan untuk hidup mulia belum berakhir. Tuhan masih menerima taubat kita. Berobahlah sebelum kamu digilas oleh perobahan. Putarlah haluan sebelum kapal tenggelam. Mulailah dari sekarang. Masih mungkin. Belum mustahil. Masih ada waktu untuk mencoba mengajak jiwa untuk tidak begitu cinta kepada pos jaga. Masih bisa memutuskan kebiasaan duduk santai di balai pembodohan. Semua masih mungkin. Belum mustahil! Untuk bangkit dari menganggur!

Aku dan Wanita Jalanan

Suatu ketika, aku pergi ke pusat ibu kota. Tujuanku untuk meramaikan hajatan yang diadakan oleh pemerintah. Pada malam sebelum hari diadakannya hajatan, aku telah berada di pusat kota. Malam itu aku bermalam di tempat teman. Malam itulah kejadian yang belum pernah kualami sebelumnya terjadi. Saat itu aku tengah duduk-duduk dengan sesama teman. Kami membahas apa saja. Paling dominan tentu saja masalah hajatan besok. Setelah duduk berbincang-bincang itu perasaan jenuh merayap diriku. Aku suntuk dengan keadaan yang ada. Aktifitas monoton dengan hanya berbincang membuatku jemu. Cara menghilangannya yang telah biasa kulakukan adalah membaca. Membaca, walaupun juga monoton, tapi tidak membuat diriku jenuh dan bosan. Bahkan aku merasa semakin lama membaca adrenalinku semakin terpicu. Perpacuan itulah yang membuatku tidak bertemu dengan rasa suntuk. Membaca memang tidak pernah sia-sia. Sekalipun bukan bacaan ilmiah, tetap ada manfaatnya. Setidaknya tidak cepat bosan dengan keadaan. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa membaca membuat aura wajah selalu bercahaya. Sebagaimana yang didapatkan dengan menulis. Maka, sangat tepat dua kegiatan itu dijadikan penghilang rasa bosan yang tidak menyenangkan. Di samping dapat menambahkan pengetahuan dan wawasan tentunya. Cakrawala pikiran jadi berkembang karena membaca. Bahkan juga bisa mendapatkan pendapatan sampingan dengan melakukan aktifitas menulis.

Setelah bertemu dengan perasaan suntuk itulah aku berniat mencari bahan bacaan. Pusat pertokoan menjadi tujuanku. Toko buku. Aku berjalan dengan perlahan dengan keretaku. Tidak mudah menemukan toko buku di sekitar tempat itu. Telah lumayan lama aku berjalan dengan mata melihat ke deretan toko yang ada di sisi jalan, namun toko buku tidak kudapatkan. Aku terus berjalan dan berjalan terus. Sehingga setelah lama mencari-cari kutemukan juga sebuah took buku. Aku masuk ke toko itu, mencari dan membeli apa yang kuinginkan. Setelah membuka-buka beberapa buku, majalah dan tabloit aku memilih dua buah majalah lokal. Aku pulang. Di saat dalam perjalanan pulang, tiba-tiba seseorang menyetop laju keretaku. Dia memanggil-manggil untuk memberhentikan. Dia berada di tempat remang-remang. Aku tidak melihat, karena merasa bukan aku yang dipanggil. Tapi dia membesarkan suaranya. Aku pun menghentikan kereta, dan melihat ke arah datangnya suara. Ternyata seorang perempuan. Penampilannya sangat norak. Kosmetik murahan nampak berlebihan di wajahnya. Aku tertegun. Perasaan khawatir menghinggap.

Perempuan itu mendekat. Dia melihat diriku dengan pandangan merayu. Dia minta bantu untuk numpang pulang. Aku takut. Perasaan yang tidak-tidak pun menyergap. Dia seorang gadis berumur belasan tahun. Meskipun norak, dia cantik juga. Badannya langsing. Pakaiannya ketat dan rapat. Pikiranku berputar. Apakah aku harus menolongnya. Dia seorang wanita. Haram hukumnya begiku berada bersamanya dalam sunyi. Terlebih gelap dan hujan rintik-rintik. Aku minta maaf kepada wanita itu. Aku bilang aku punya teman yang menungguku di depan. Namun dia bergeming. Dia terus memohon. Katanya dia tak punya uang untuk pulang ke kostnya yang berjarak sekitar lima kilometer. Katanya lagi, aku tak usah cemas. Dia bukan wanita jahat. Dia hanya mahasiswa yang pulang dari rumah temannya selesai mengerjakan kegiatan kemahasiswaan. Dia sangat memohon. Tapi aku tetap tidak berani. Aku juga bergeming dengan jawabanku. Malam dan keadaan sunyi bersama wanita yang tidak kita kenali, apa kata dunia. Aku kembali minta maaf kepada gadis itu. Dia pun juga kembali memohon kepada diriku untuk membantunya. Dalam hati aku ingin tancap gas meninggalkan dia. Tapi aku juga tak tega karena dia nampaknya telah sangat lelah berjalan kaki.

Tiba-tiba tanpa kuminta dia langsung boncengan di belakangku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan betapa terkejutnya aku ketika merasakan wanita itu dengan tanpa merasa keberatan langsung menyandarkan tubuhnya ke pundakku. Dia duduk layaknya anak remaja yang tengah pacaran di atas kenderaan. Sangat-sangat tidak Islami. Pakek rangkul segala. Di situlah puncak ketakutanku. Terlebih tangannya mulai liar menjalar ke kawasan terlarang di tubuhku. Aku terkesiap luar biasa. Aku belum pernah dipeluk oleh orang wanita muda yang bukan muhrimku. Dan kuakui, benih-benih kenikmatan kutemukan juga. Pikiranku berpikir cepat. Rupanya begini rasanya disentuh wanita. Panas dan……

Dalam kekalutan dan perasaan ingin menikmati itu, aku teringat kepada komitmen hidupku untuk tidak menjamah seorang perempuan pun sebelum aku menikah. Bahkan sebatas melihat dan berjabat tangan dengan tanpa adanya penghalang kuusahakan untuk tak kulakukan. Karena hukumnya haram! Aku ingin hidupku terbebas dari setiap kelakuan haram. Terutama karena wanita. Semampu mungkin akan kuusahakan. Kecuali yang memang tidak mungkin aku hilangkan untuk tiada sama sekali. Seperti, melihat wanita cantik yang berpakaian muslimah, berjilbab dan ada sesuatu yang menjadi ciri khas kesolehannya. Seperti memakai jilbab dari kain surban. Aku paling tidak sanggup untuk tidak melihat kepada wanita seperti itu. Karena bangga, kagum, cinta, sayang, salut dan bahkan ingin memilikinya. Tapi tetap harus kuakui bahwa hukum melihatnya juga haram karena aku bukan orang yang halal melihatnya. Maka dalam hal itu hanya dengan bertasbih aku menutupkan dosanya. Bukan dengan tidak menatapnya. Sangat berat sekali untuk itu. Untuk melihat kepada wanita solehah dengan pandangan menilik dan mengamati!

Saat wanita yang telah mulai nakal yang ada di belakang keretaku itu mencoba membuka sesuatu yang paling pribadi begiku, yaitu selinting (celanaku), kutarik tangannya dan aku turun dari kereta. ( Padahal jujur suara hatiku yang lain juga mengajakku untuk merasakan kenikmatan itu untuk sekali ini saja. Memang, sangat-sangat kuakui, ketika dia menyusupkan jemarinya dalam celah bajuku, dan saat pertama sekali kulit kawasan badanku tersentuh kulit mulus seorang gadis, aku merasakan kenikmatan yang amat sangat. Aku pikir bagaimana lagi sekiranya… ) Aku hadap wanita itu. Kukatakan kepadanya untuk jangan ganggu aku. Aku seorang ustad di sebuah pesantren. Aku kerap menjadi imam sembahyang jamaah. Aku mengajarkan pengajian. Tolong jangan runtuhkan wibawaku. Atau kalau tidak aku akan meninggalkanmu di sini seorang diri. Aku baik-baik ingin menolongmu tapi kau justru ingin menghancurkan kehidupanku. Wahai saudariku, tidakkah kamu menyadari betapa malangnya hidupmu. Apalah artinya uang dan kenikmatan sesaat bila intan yang paling berharga dan mutiara yang paling berguna telah tiada pada kita. Kamu telah tidak ada lagi nilai keimanan. Karena sekiranya kamu beriman kamu pasti malu melakukan apa yang tidak selayaknya kau lakukan kepadaku. Itu haram! Itu berdosa! Nerakalah tempatnya kelak! Bertaubatlah saudariku!


Saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh di wajahnya. Rupanya sedari tadi dia begitu serius mendengar ceramah singkatku. Sebutir kristal bening jelas kulihat merembes di sudut matanya. Yang anehnya, karena itu tak sesuai dengan pakaiannya, yang menurut pandanganku sangat payah untuk bisa meneteskan air mata hanya karena beberapa kata yang belum bisa dikatakan kata hikmah. Yang lebih terharu lagi, dia menangis dan kemudian lari meninggalkanku…

Jumat, 04 April 2014

Ada Tuhan di Malam Itu

Aku tengah duduk seorang diri di dalam kamar. Tidak ada teman. Jam sudah menunjukkan pukul 02.30, dini hari. Aku belum tidur. Aku sudah terbiasa tidur dua jam sebelum waktu subuh, yaitu pukul 03.00. Aku hanya tidur dua jam setiap malam. Aku merasa nyaman dengannya. Meskipun pakar kesehatan mengatakan hal sebaliknya. Aku percaya dengan ungkapan, sedikit dan banyaknya tidur tidak bepengaruh kepada kesehatan, namun kualitas dan tidak berkualitasnyalah yang menentukan. Tidur dalam porsi yang banyak tapi tidak sesuai dengan pola tidur yang diharapkan tak akan memberikan keuntungan. Sebaliknya, tidur ideal dan berkualitas walaupun dengan porsi yang sedikit dapat memberikan andil kepada keadaan kesehatan seseorang. Dan selalu berpikiran positif yang paling mendominasi penyebab kesehatan.

Ketika di dalam kamar tersebut, samar-samar di luar sana tersayup suara percakapan beberapa orang yang tengah bertugas jaga malam, piket. Mereka masih berbicara. Barangkali membahas tentang fenomena kehidupan. Suasana alam sudah sangat sunyi. Sepi. Tak ada lagi suara hiruk pikuk orang belajar menghafal kitab, yang tadi begitu menggelegar. Mereka semua sudah pada tidur. Telah hanyut dibuai mimpi. Mungkin ada yang kembali melanjutkan bahasan belajarnya, di dalam sana, tidur, dengan kawan peserta belajar yang berbeda, atau bertambah sosok yang tadi tak ada waktu belajar di teras musalla. Kadang ada juga peserta belajar yang bahkan tidak dikenal, asing sama sekali. Yang beruntung tentu saja yang didatangi guru sesepuhnya, atau para ulama. Konon lagi waliyullah dan para Nabi. Dan tentu saja, barangkali juga ada yang tengah mendayuh sampan di samudra raya mau menyebrang ke seberang sana, yang kemudian justru jatuh tenggelam ke dalamnya, basah. Mimpi berisi. Anak muda bilang, mimpi nikmat!

Aku masih duduk sendiri. Tak ada pekerjaan apa-apa. Hanya duduk saja. Sambil menatap bintang yang menerobos masuk ke kamarku, lewat jeruji yang ada di kisi-kisi gorden jendela. Sejak dulu aku sangat suka dan senang menikmati keindahan alam yang demikian, yang tersaji saat malam tiba. Aku melihat bintang-gemintang yang bertaburan dengan kerlap kerlipnya. Jutaan planet yang senantiasa setia menemani malam, memenuhi angkasa. Menciptakan sebuah galaksi keindahan yang sangat elok, di antariksa. Sungguh sangat indah sekali. Sayang, keindahan yang amat sangat dan menakjubkan itu sangat sedikit orang yang menikmatinya. Padahal itu gratis. Tidak harus bayar menikmatinya. Keindahannya juga tiada tara anggunnya.

Mereka yang tidak pernah menikmati keindahan alami itu, lebih memilih tidur memasuki alam impian. Padahal suasana malam yang sunyi, sangat efektif dalam membentuk dan melatih serta mengasah daya pikir, yang menjadikan kita mempunyai fikiran yang jenius dan berperasaan halus. Dimana sekiranya kita mempunyai perasaan yang halus dan peka, keindahan hidup makin terasa nikmatnya. Para sastrawan dan pujangga adalah manusia yang mempunyai perasaan sangat sinsetif. Sehingga mereka dapat merasakan getaran alam dan frekuensi kehidupan. Dengan demikian mereka akan lebih menjiwai ketika menyalurkan keadaan hati yang peka tersebut ke dalam tulisan. Tulisan itu menjadi sangat indah, sangat mudah untuk menyentuh hati manusia. Dari keadaan perasaan yang demikian dia dapat merefleksikan pengetahuannya dalam kalimat sastra. Sastra yang indah, tidak kering makna. Sastra yang lahir dari keadaan yang demikian akan sangat dalam maknanya. Dia dapat masuk dan menyusup dalam hati dengan sangat tajam. Makna tulisan yang terkandung dalam sastranya akan mewarnai dunia pada keseluruhan. Bahkan berlanjut pada generasi yang akan datang.

Ketika tengah duduk di malam itu aku bertanya pada diriku sendiri, ketika asyik menyaksikan sang bintang; apa yang ada di belakang bintang itu? Dimana titik terakhir di atas sana?, yang tidak ada lagi sesuatu setelahnya. Dan bagaimana menggambarkan keadaan yang di belakang bintang itu, ketika sampai pada keadaan yang tak ada lagi suatu apa pun. Bukankah tetap akan ada batasan terakhir. Kemudian apa yang ada setelah batasan terakhir sekali itu? Bukankah tetap akan kembali ada pandangan tumpuan mata setelahnya. Nah, yang tidak ada lagi itu bagaimana menggambarkannya? Saya tidak cukup akal memikirkan itu. Otak berhenti untuk dapat menganalisa dan mengupas tentang gambaran keadaan di sana, di alam yang tak ada lagi suatu apaun itu!

Sejurus kemudian pikiranku kembali berlanjut dengan bertanya; di mana titik terdasar dari bumi di bawah sana? Bagaimana menggambarkan titik terbawah itu? Sebagaimana tadi, di belakang bintang, yang tidak ada lagi sesuatu setelahnya. Tetap mandeg! Kemudian fikiran itu berlanjut ke; dimana dinding terakhir dunia sebelah kiri, sebelah kanan, selatan dan utara? Dimana itu semua. Bagaimana menggambarkan keadaannya yang seperti tadi, titik terakhir yang tak ada sesuatu lagi setelahnya? Bagaimana, bagaimana, bagaimana? Masih tetap mandeg, berhenti pada pertanyaan bagaimana!

Semua bagaimana-bagaimana itu tak sanggup aku berikan jawaban. Aku hanya bisa bertanya, dan tak sanggup menjawab. Sehingga fikiranku sampai ke sebuah kesimpulan, inilah yang namanya, Kekuasaan Tuhan.  Di sinilah lemahnya otak manusia. Kemampuan akal sangat terbatas. Semua keadaan tak bisa dijelaskan dengan terang oleh akal dengan ilmiahnya. Tempo-tempo kita berhadapan dengan keadaan yang tak bisa diikutsertakan akal di dalamnya. Dia sudah di kawasan Iman. Akal kalah telak di sana! Maka, untuk menjawab dimana dan bagaimana-bagaimana tadi, saya memberikan penenang sekaligus jawaban kepada fikiran saya, bahwa itu adalah salah satu kemahakuasaan Tuhan. Dia sangat ajaib untuk standar akal manusia. Dari fenomena-fenomena itu kita hanya bisa menyimpulkan bahwa ada sebuah kekuatan yang sangat maha dalam segalanya. Kekuatan itu sanggup menciptakan langit tanpa tiang. Bumi tanpa tempat pijakan. Titik teratas dan terbawah yang tak bisa digambarkan akal di mana beradanya. Kemana hilangnya malam kala siang tiba. Dan kemana perginya siang di saat malam menjelma. Api, kala dipadamkan kemana dia berangkat. Kenapa selalu ada dinamika di setiap zaman dan peradaban. Tidak pernah terjadi ketimpangan. Selalu masih ada orang yang berprosesi sebagai Orang Naik Kelapa, dan Pengiris Nangka di saat ada pesta, di tengah keadaan zaman yang telah sangat modern, dan anak zaman tak lagi suka kepada pekerjaan itu. Selalu ada yang membenahi di setiap propesi dan posisi. Selalu ada penentang Amerika di tengah keadaan kekuatan mereka yang katanya tidak ada tandingan di dunia. Bahkan penentang itu adalah mereka yang sangat kecil dan lemah kekuatannya. Hampir tiap hari mereka dibunuh oleh Amerika, namun tetap masih ada di antara mereka yang tak pernah gentar menghadapi negara yang memproklamirkan diri Adi Kuasa itu.


Itu semua adalah tanda alamiah akan ada sebuah pendesaian kehidupan dengan setiap dinamika dan peradaban setiap zamannya, yang sangat luar biasa kemahakuasaannya. Itulah Allah! Malam itu aku kembali menemukan Allah. Bukan berarti sebelumnya telah hilang. Tapi ditemukan kembali di tengah perjalanan malam, yang memang telah ada Allah. Dialah Tuhan semesta alam. Tidak ada Tuhan selain Dia. Malam itu, ya, masih malam itu. Aku kembali menemukan Tuhan. Ada Tuhan di Malam Itu!