Kini sangat banyak orang yang
menganggur. Baik laki-laki ataupun perempuan. Mereka tidak ada pekerjaan yang
bisa memberikan pendapatan untuk kebutuhan mereka. Mereka tak tau apa yang
harus mereka kerjakan. Karena kekurangan ketrampilan, ditambah dengan penyakit
malas untuk pekerjaan yang berat dan kotor, bersantai di balai-balai tempat nongkrong
menjadi pilihan. Di sana,
di balai santai itu, mereka dapat menciptakan segalanya. Di sana mereka menjadi diri aslinya mereka. Dari
tempat itu mereka dapat “berjalan” mengililingi dunia. Jangkauan perjalanan
mereka melebihi tour yang dilakukan bintang selebritis dunia, dan kunjungan
kepala negara yang tengah sibuk menjalin kerja sama antar negara. Setiap
tempat-tempat indah dan kesohor di pelosok dunia berhasil mereka “ziarah” dan “menikmati”
segenap keindahannya, dari balai itu. Suatu hal yang indah sekali, sangat
menyenangkan. Semua orang menyukainya.
Dari tempat santai tersebut mereka
juga sukses mengumpulkan banyak kemenangan dan keberhasilan. Mulai dari selesai
menanam padi, kopi, coklat, sampai kepada tanaman yang pernah mereka dengar
menjadi bahan baku
minyak pesawat terbang. Penyelesaian sebuah masalah yang ada dalam masyarakat
juga berhasil mereka kelarkan pada tempat itu. Di sana mereka dapat melahirkan tips-tips
mengantisapasi aliran sesat yang tengah menjadi kecemasan masyarakat
akhir-akhir ini. Juga cara meluruskan mereka yang telah terlanjur sesat dan
masuk dalam jamaah yang menjerumuskan itu. Bahkan, dari tempat itu mereka berkontribusi
kepada semua pihak yang bertanggungjawab kepada masalah aliran yang menyeleweng
tersebut. Kepala pemerintahan, kepala badan instansi terkait, bahkan ketua MPU,
dan sampai kepada aktivis yang ada dalam sebuah lembaga sosial, mendapatkan asumsi
brillian mereka, dari tempat itu.
Menjadi kepala desa, camat, polisi,
tentara, bupati, wali kota, bigboss sebuah
perusahaan, anggota DPR, sang orator yang sangat vokal beragitasi, bintang
film, pemain senetron, mujahidin, gubernur, bahkan presiden, sampai kepada
pembom bunuh diri juga mereka perankan di sana.
Mereka selalu menjadi orang terkenal dan ngetop. Banyak wanita mendambakan
mereka. Orang tua mengharapkan menantunya seperti mereka dari gadisnya yang
cantik dan menjadi buah bibir semua remaja. Massa mengelu-elukan mereka karena sikap
kepahlawanannya. Simpati dan respeks datang dari semua kalangan. Mendapat
pujian dan penghargaan setinggi langit dari orang-orang. Mereka adalah sang
idolanya dari semua para idola. Begitu yang kerap mereka “peran hayalkan” dari
‘bale angen’ itu.
Orang-orang pemalas tersebut duduk bernostalgia
dan berfantasi indah di balai tersebut, mulai dari bangun pagi, pukul dua jam
sebelum waktu salat zuhur tiba, sampai semua khazanah kehidupan usai mereka
diskusikan. Semua yang mereka “tanamkan” dapat langsung mereka “panenkan” di sana. Tidak jarang mereka
membagikan langsung hasil panennya. Kopi mereka pesan pada warung yang ada di
sekitar. Tambah lagi, bila pesanan kali pertama keburu habis. Begitulah saban
hari mereka lakukan. Dengan aktor yang sama.
“Kalau kita tanamkan coklat empat
hektar di tanah kosong itu berapa kira-kira membutuhkan modalnya” sebuah
pertanyaan mengemuka dari forum itu. Salah seorang dari mereka melemparkan
pertanyaaan kepada semua yang ada di sana.
Asap rokok mengepul seperti asap dari sebuah pembakaran. Mereka berlomba dalam
memperbanyak kumpulan benda ringan yang beterbangan itu. Rokok, memberikan
ketenangan pada setiap tarikannya, kata mereka.
“tergantung berapa banyak jumlah
coklatnya” jawab yang duduk paling tengah.
“yang pasti setiap batang coklat
menghabiskan modalnya sekitar 30000. Itu sudah termasuk ongkos perawatan coklat
itu sampai panen.”
Berarti untuk empat hektar yang
katakanlah bermuatan seribu batang membutuhkan biaya 30 juta. Kalau kita kalikan
dengan hasil yang bisa kita dapatkan dari satu batang 100000 dengan harga
pasaran, maka jumlah uang yang kita dapatkan mencapai 100 juta. Wah, kita bakal
kaya. Bisa belikan sepeda motor baru. Gantiin tivi dengan yang lebih besar dan
pakai perangkat digital. Pergi belanja ke supermarket dengan membawa istri dan
anak…
Kopi pun kembali mereka pesan pada
pelayan di warung di samping balai itu. Lengkap dengan rokok tentunya. Panamas.
Mereka membakar dan menyulut lagi rokok itu. Asik!
Tiba-tiba sebuah suara datang
memecahakan keseriusan diskursus mereka. Suara itu dari seorang wanita. Dia
berdiri di tempat yang agak jauh dari orang-orang itu. Suara itu memanggil
sebuah nama. Firdaus! Seperti nama surga. Bagus. Entah empunyanya.
Calon toke coklat yang kaya
mendadak tadi ternyata yang bernama firdaus. Dia memberikan perhatian kepada
suara itu. Ternyata kakaknya.
“ya, aku di sini. Kenapa?” jawab
lelaki itu.
“istrimu sakit. Dia harus segera
dibawa ke rumah sakit. Dia terjadi pendarahan.”
Duk! Detak jantung firdaus
mengelitik. Sendi tulang-belulangnya nyilu. Dia tidak punya uang serupiah pun. Dimana
dia harus mencari uang. Dalam waktu yang semendadak ini, jangankan mencari
berutang pun dengan pembayaran lebih bahkan tidak mudah mendapatkannya.
“Nuh, tulis kopi ya. Kopi tiga,
rokok dua.”
Firdaus segera beranjak dari tempat
itu. Ditinggalkan temannya tanpa ada pamitan. Pikirannya tengah memikirkan
dimana dia bisa pinjam uang. Yang tinggal di balai itu juga sudah pada diam.
Mereka menunggu bagaimana berjalannya keadaan.
“kita nyusul firdaus, yuk. Mungkin
dia perlu pertolongan.” Ajak yang lebih tua dari mereka. Semua mereka beranjak
dari balai itu menyusul langkahnya firdaus…
Begitulah… ilustrasi dari sebuah
balai pengangguran. Dan keadaan yang ada di sana. Mereka sebenarnya masih punya hati dan
nurani yang baik. Mereka memiliki sikap tenggang rasa yang besar. Namun sangat
disayangkan mereka tidak punya pekerjaan tetap. Juga tidak punya semangat untuk
bekerja dengan apa yang dapat mereka lakukan. Begitulah yang kerap kita temukan
nyaris pada setiap tempat. Masyarakat malas. Mereka lebih memilih duduk
berandehoi di pos jaga daripada bekerja. Padahal mereka punya tanggungjawab
yang besar. Anak dan istri di rumah menanti nafkah kebutuhan dari mereka. Sangat
memiriskan. Di samping mereka telah sangat morat marit dengan kehidupan yang
ada. Mereka juga tidak dekat dengan agama. Mereka kebanyakan tidak mengerjakan
perintah agama. Mereka tidak laksanakan syariat. Mereka tidak sembahyang.
Manusia seperti itu telah menimpa
kerugian di dua buah alam. Dunia sudah jelas tertimpa kemiskinan. Akhirat pun
bisa diterkakan bagaimana jadinya bila syariat tidak dijalankan. Neraka!
Pedihnya tiada tara. Lebih pedih dari
kemiskinan. Lebih sakit dari pesakitan. Dia adalah kenyataan. Dia adalah fakta.
Tinggal menunggu waktunya saja.
Pemerintah harus berupaya
menghilangkan keadaan demikian. Bagaimana caranya meminimalisirkan penyakit
kemalasan yang telah sangat menjamur itu. Dia merata hampir di setiap tempat.
Di desa juga di kota.
Kalangan muda juga mereka yang telah tua. Mereka adalah komponen bangsa. Mereka
merupakan aset negara. Mereka umat yang mulia. Yang tidak berada dalam keadaan
yang mengesankan kehinaan demikian. Mereka punya hati. Mereka punya nurani.
Mereka adalah manusia. Mereka adalah sama seperti kebanyakan manusia yang tidak
seperti mereka dalam keadaan kehidupan. Adakah yang peduli dengan mereka. Atau
justru kita juga bagian dari mereka.
Waktu masih ada. Kesempatan untuk
mengubah keadaan belum tertutup. Pintu kemenangan dalam kesuksesan masih
terbuka. Kemauan untuk hidup mulia belum berakhir. Tuhan masih menerima taubat
kita. Berobahlah sebelum kamu digilas oleh perobahan. Putarlah haluan sebelum
kapal tenggelam. Mulailah dari sekarang. Masih mungkin. Belum mustahil. Masih
ada waktu untuk mencoba mengajak jiwa untuk tidak begitu cinta kepada pos jaga.
Masih bisa memutuskan kebiasaan duduk santai di balai pembodohan. Semua masih
mungkin. Belum mustahil! Untuk bangkit dari menganggur!