Sabtu, 05 April 2014

Aku dan Wanita Jalanan

Suatu ketika, aku pergi ke pusat ibu kota. Tujuanku untuk meramaikan hajatan yang diadakan oleh pemerintah. Pada malam sebelum hari diadakannya hajatan, aku telah berada di pusat kota. Malam itu aku bermalam di tempat teman. Malam itulah kejadian yang belum pernah kualami sebelumnya terjadi. Saat itu aku tengah duduk-duduk dengan sesama teman. Kami membahas apa saja. Paling dominan tentu saja masalah hajatan besok. Setelah duduk berbincang-bincang itu perasaan jenuh merayap diriku. Aku suntuk dengan keadaan yang ada. Aktifitas monoton dengan hanya berbincang membuatku jemu. Cara menghilangannya yang telah biasa kulakukan adalah membaca. Membaca, walaupun juga monoton, tapi tidak membuat diriku jenuh dan bosan. Bahkan aku merasa semakin lama membaca adrenalinku semakin terpicu. Perpacuan itulah yang membuatku tidak bertemu dengan rasa suntuk. Membaca memang tidak pernah sia-sia. Sekalipun bukan bacaan ilmiah, tetap ada manfaatnya. Setidaknya tidak cepat bosan dengan keadaan. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa membaca membuat aura wajah selalu bercahaya. Sebagaimana yang didapatkan dengan menulis. Maka, sangat tepat dua kegiatan itu dijadikan penghilang rasa bosan yang tidak menyenangkan. Di samping dapat menambahkan pengetahuan dan wawasan tentunya. Cakrawala pikiran jadi berkembang karena membaca. Bahkan juga bisa mendapatkan pendapatan sampingan dengan melakukan aktifitas menulis.

Setelah bertemu dengan perasaan suntuk itulah aku berniat mencari bahan bacaan. Pusat pertokoan menjadi tujuanku. Toko buku. Aku berjalan dengan perlahan dengan keretaku. Tidak mudah menemukan toko buku di sekitar tempat itu. Telah lumayan lama aku berjalan dengan mata melihat ke deretan toko yang ada di sisi jalan, namun toko buku tidak kudapatkan. Aku terus berjalan dan berjalan terus. Sehingga setelah lama mencari-cari kutemukan juga sebuah took buku. Aku masuk ke toko itu, mencari dan membeli apa yang kuinginkan. Setelah membuka-buka beberapa buku, majalah dan tabloit aku memilih dua buah majalah lokal. Aku pulang. Di saat dalam perjalanan pulang, tiba-tiba seseorang menyetop laju keretaku. Dia memanggil-manggil untuk memberhentikan. Dia berada di tempat remang-remang. Aku tidak melihat, karena merasa bukan aku yang dipanggil. Tapi dia membesarkan suaranya. Aku pun menghentikan kereta, dan melihat ke arah datangnya suara. Ternyata seorang perempuan. Penampilannya sangat norak. Kosmetik murahan nampak berlebihan di wajahnya. Aku tertegun. Perasaan khawatir menghinggap.

Perempuan itu mendekat. Dia melihat diriku dengan pandangan merayu. Dia minta bantu untuk numpang pulang. Aku takut. Perasaan yang tidak-tidak pun menyergap. Dia seorang gadis berumur belasan tahun. Meskipun norak, dia cantik juga. Badannya langsing. Pakaiannya ketat dan rapat. Pikiranku berputar. Apakah aku harus menolongnya. Dia seorang wanita. Haram hukumnya begiku berada bersamanya dalam sunyi. Terlebih gelap dan hujan rintik-rintik. Aku minta maaf kepada wanita itu. Aku bilang aku punya teman yang menungguku di depan. Namun dia bergeming. Dia terus memohon. Katanya dia tak punya uang untuk pulang ke kostnya yang berjarak sekitar lima kilometer. Katanya lagi, aku tak usah cemas. Dia bukan wanita jahat. Dia hanya mahasiswa yang pulang dari rumah temannya selesai mengerjakan kegiatan kemahasiswaan. Dia sangat memohon. Tapi aku tetap tidak berani. Aku juga bergeming dengan jawabanku. Malam dan keadaan sunyi bersama wanita yang tidak kita kenali, apa kata dunia. Aku kembali minta maaf kepada gadis itu. Dia pun juga kembali memohon kepada diriku untuk membantunya. Dalam hati aku ingin tancap gas meninggalkan dia. Tapi aku juga tak tega karena dia nampaknya telah sangat lelah berjalan kaki.

Tiba-tiba tanpa kuminta dia langsung boncengan di belakangku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan betapa terkejutnya aku ketika merasakan wanita itu dengan tanpa merasa keberatan langsung menyandarkan tubuhnya ke pundakku. Dia duduk layaknya anak remaja yang tengah pacaran di atas kenderaan. Sangat-sangat tidak Islami. Pakek rangkul segala. Di situlah puncak ketakutanku. Terlebih tangannya mulai liar menjalar ke kawasan terlarang di tubuhku. Aku terkesiap luar biasa. Aku belum pernah dipeluk oleh orang wanita muda yang bukan muhrimku. Dan kuakui, benih-benih kenikmatan kutemukan juga. Pikiranku berpikir cepat. Rupanya begini rasanya disentuh wanita. Panas dan……

Dalam kekalutan dan perasaan ingin menikmati itu, aku teringat kepada komitmen hidupku untuk tidak menjamah seorang perempuan pun sebelum aku menikah. Bahkan sebatas melihat dan berjabat tangan dengan tanpa adanya penghalang kuusahakan untuk tak kulakukan. Karena hukumnya haram! Aku ingin hidupku terbebas dari setiap kelakuan haram. Terutama karena wanita. Semampu mungkin akan kuusahakan. Kecuali yang memang tidak mungkin aku hilangkan untuk tiada sama sekali. Seperti, melihat wanita cantik yang berpakaian muslimah, berjilbab dan ada sesuatu yang menjadi ciri khas kesolehannya. Seperti memakai jilbab dari kain surban. Aku paling tidak sanggup untuk tidak melihat kepada wanita seperti itu. Karena bangga, kagum, cinta, sayang, salut dan bahkan ingin memilikinya. Tapi tetap harus kuakui bahwa hukum melihatnya juga haram karena aku bukan orang yang halal melihatnya. Maka dalam hal itu hanya dengan bertasbih aku menutupkan dosanya. Bukan dengan tidak menatapnya. Sangat berat sekali untuk itu. Untuk melihat kepada wanita solehah dengan pandangan menilik dan mengamati!

Saat wanita yang telah mulai nakal yang ada di belakang keretaku itu mencoba membuka sesuatu yang paling pribadi begiku, yaitu selinting (celanaku), kutarik tangannya dan aku turun dari kereta. ( Padahal jujur suara hatiku yang lain juga mengajakku untuk merasakan kenikmatan itu untuk sekali ini saja. Memang, sangat-sangat kuakui, ketika dia menyusupkan jemarinya dalam celah bajuku, dan saat pertama sekali kulit kawasan badanku tersentuh kulit mulus seorang gadis, aku merasakan kenikmatan yang amat sangat. Aku pikir bagaimana lagi sekiranya… ) Aku hadap wanita itu. Kukatakan kepadanya untuk jangan ganggu aku. Aku seorang ustad di sebuah pesantren. Aku kerap menjadi imam sembahyang jamaah. Aku mengajarkan pengajian. Tolong jangan runtuhkan wibawaku. Atau kalau tidak aku akan meninggalkanmu di sini seorang diri. Aku baik-baik ingin menolongmu tapi kau justru ingin menghancurkan kehidupanku. Wahai saudariku, tidakkah kamu menyadari betapa malangnya hidupmu. Apalah artinya uang dan kenikmatan sesaat bila intan yang paling berharga dan mutiara yang paling berguna telah tiada pada kita. Kamu telah tidak ada lagi nilai keimanan. Karena sekiranya kamu beriman kamu pasti malu melakukan apa yang tidak selayaknya kau lakukan kepadaku. Itu haram! Itu berdosa! Nerakalah tempatnya kelak! Bertaubatlah saudariku!


Saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh di wajahnya. Rupanya sedari tadi dia begitu serius mendengar ceramah singkatku. Sebutir kristal bening jelas kulihat merembes di sudut matanya. Yang anehnya, karena itu tak sesuai dengan pakaiannya, yang menurut pandanganku sangat payah untuk bisa meneteskan air mata hanya karena beberapa kata yang belum bisa dikatakan kata hikmah. Yang lebih terharu lagi, dia menangis dan kemudian lari meninggalkanku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar