Suatu ketika, aku pergi ke pusat
ibu kota. Tujuanku untuk meramaikan hajatan yang diadakan oleh pemerintah. Pada
malam sebelum hari diadakannya hajatan, aku telah berada di pusat kota. Malam
itu aku bermalam di tempat teman. Malam itulah kejadian yang belum pernah
kualami sebelumnya terjadi. Saat itu aku tengah duduk-duduk dengan sesama teman.
Kami membahas apa saja. Paling dominan tentu saja masalah hajatan besok. Setelah
duduk berbincang-bincang itu perasaan jenuh merayap diriku. Aku suntuk dengan
keadaan yang ada. Aktifitas monoton dengan hanya berbincang membuatku jemu.
Cara menghilangannya yang telah biasa kulakukan adalah membaca. Membaca,
walaupun juga monoton, tapi tidak membuat diriku jenuh dan bosan. Bahkan aku
merasa semakin lama membaca adrenalinku semakin terpicu. Perpacuan itulah yang
membuatku tidak bertemu dengan rasa suntuk. Membaca memang tidak pernah sia-sia.
Sekalipun bukan bacaan ilmiah, tetap ada manfaatnya. Setidaknya tidak cepat
bosan dengan keadaan. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa membaca membuat
aura wajah selalu bercahaya. Sebagaimana yang didapatkan dengan menulis. Maka,
sangat tepat dua kegiatan itu dijadikan penghilang rasa bosan yang tidak
menyenangkan. Di samping dapat menambahkan pengetahuan dan wawasan tentunya.
Cakrawala pikiran jadi berkembang karena membaca. Bahkan juga bisa mendapatkan
pendapatan sampingan dengan melakukan aktifitas menulis.
Setelah bertemu dengan perasaan
suntuk itulah aku berniat mencari bahan bacaan. Pusat pertokoan menjadi
tujuanku. Toko buku. Aku berjalan dengan perlahan dengan keretaku. Tidak mudah
menemukan toko buku di sekitar tempat itu. Telah lumayan lama aku berjalan
dengan mata melihat ke deretan toko yang ada di sisi jalan, namun toko buku
tidak kudapatkan. Aku terus berjalan dan berjalan terus. Sehingga setelah lama
mencari-cari kutemukan juga sebuah took buku. Aku masuk ke toko itu, mencari dan
membeli apa yang kuinginkan. Setelah membuka-buka beberapa buku, majalah dan
tabloit aku memilih dua buah majalah lokal. Aku pulang. Di saat dalam perjalanan
pulang, tiba-tiba seseorang menyetop laju keretaku. Dia memanggil-manggil untuk
memberhentikan. Dia berada di tempat remang-remang. Aku tidak melihat, karena
merasa bukan aku yang dipanggil. Tapi dia membesarkan suaranya. Aku pun
menghentikan kereta, dan melihat ke arah datangnya suara. Ternyata seorang
perempuan. Penampilannya sangat norak. Kosmetik murahan nampak berlebihan di
wajahnya. Aku tertegun. Perasaan khawatir menghinggap.
Perempuan itu mendekat. Dia melihat
diriku dengan pandangan merayu. Dia minta bantu untuk numpang pulang. Aku
takut. Perasaan yang tidak-tidak pun menyergap. Dia seorang gadis berumur
belasan tahun. Meskipun norak, dia cantik juga. Badannya langsing. Pakaiannya
ketat dan rapat. Pikiranku berputar. Apakah aku harus menolongnya. Dia seorang
wanita. Haram hukumnya begiku berada bersamanya dalam sunyi. Terlebih gelap dan
hujan rintik-rintik. Aku minta maaf kepada wanita itu. Aku bilang aku punya
teman yang menungguku di depan. Namun dia bergeming. Dia terus memohon. Katanya
dia tak punya uang untuk pulang ke kostnya yang berjarak sekitar lima
kilometer. Katanya lagi, aku tak usah cemas. Dia bukan wanita jahat. Dia hanya
mahasiswa yang pulang dari rumah temannya selesai mengerjakan kegiatan kemahasiswaan.
Dia sangat memohon. Tapi aku tetap tidak berani. Aku juga bergeming dengan
jawabanku. Malam dan keadaan sunyi bersama wanita yang tidak kita kenali, apa
kata dunia. Aku kembali minta maaf kepada gadis itu. Dia pun juga kembali
memohon kepada diriku untuk membantunya. Dalam hati aku ingin tancap gas
meninggalkan dia. Tapi aku juga tak tega karena dia nampaknya telah sangat
lelah berjalan kaki.
Tiba-tiba tanpa kuminta dia
langsung boncengan di belakangku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan betapa terkejutnya
aku ketika merasakan wanita itu dengan tanpa merasa keberatan langsung menyandarkan
tubuhnya ke pundakku. Dia duduk layaknya anak remaja yang tengah pacaran di
atas kenderaan. Sangat-sangat tidak Islami. Pakek rangkul segala. Di situlah
puncak ketakutanku. Terlebih tangannya mulai liar menjalar ke kawasan terlarang
di tubuhku. Aku terkesiap luar biasa. Aku belum pernah dipeluk oleh orang
wanita muda yang bukan muhrimku. Dan kuakui, benih-benih kenikmatan kutemukan
juga. Pikiranku berpikir cepat. Rupanya begini rasanya disentuh wanita. Panas
dan……
Dalam kekalutan dan perasaan ingin
menikmati itu, aku teringat kepada komitmen hidupku untuk tidak menjamah
seorang perempuan pun sebelum aku menikah. Bahkan sebatas melihat dan berjabat
tangan dengan tanpa adanya penghalang kuusahakan untuk tak kulakukan. Karena hukumnya
haram! Aku ingin hidupku terbebas dari setiap kelakuan haram. Terutama karena
wanita. Semampu mungkin akan kuusahakan. Kecuali yang memang tidak mungkin aku
hilangkan untuk tiada sama sekali. Seperti, melihat wanita cantik yang
berpakaian muslimah, berjilbab dan ada sesuatu yang menjadi ciri khas
kesolehannya. Seperti memakai jilbab dari kain surban. Aku paling tidak sanggup
untuk tidak melihat kepada wanita seperti itu. Karena bangga, kagum, cinta,
sayang, salut dan bahkan ingin memilikinya. Tapi tetap harus kuakui bahwa hukum
melihatnya juga haram karena aku bukan orang yang halal melihatnya. Maka dalam
hal itu hanya dengan bertasbih aku menutupkan dosanya. Bukan dengan tidak
menatapnya. Sangat berat sekali untuk itu. Untuk melihat kepada wanita solehah
dengan pandangan menilik dan mengamati!
Saat wanita yang telah mulai nakal
yang ada di belakang keretaku itu mencoba membuka sesuatu yang paling pribadi
begiku, yaitu selinting (celanaku), kutarik tangannya dan aku turun dari
kereta. ( Padahal jujur suara hatiku yang lain juga mengajakku untuk merasakan
kenikmatan itu untuk sekali ini saja. Memang, sangat-sangat kuakui, ketika dia
menyusupkan jemarinya dalam celah bajuku, dan saat pertama sekali kulit kawasan
badanku tersentuh kulit mulus seorang gadis, aku merasakan kenikmatan yang amat
sangat. Aku pikir bagaimana lagi sekiranya… ) Aku hadap wanita itu. Kukatakan
kepadanya untuk jangan ganggu aku. Aku seorang ustad di sebuah pesantren. Aku
kerap menjadi imam sembahyang jamaah. Aku mengajarkan pengajian. Tolong jangan
runtuhkan wibawaku. Atau kalau tidak aku akan meninggalkanmu di sini seorang
diri. Aku baik-baik ingin menolongmu tapi kau justru ingin menghancurkan
kehidupanku. Wahai saudariku, tidakkah kamu menyadari betapa malangnya hidupmu.
Apalah artinya uang dan kenikmatan sesaat bila intan yang paling berharga dan
mutiara yang paling berguna telah tiada pada kita. Kamu telah tidak ada lagi
nilai keimanan. Karena sekiranya kamu beriman kamu pasti malu melakukan apa
yang tidak selayaknya kau lakukan kepadaku. Itu haram! Itu berdosa! Nerakalah
tempatnya kelak! Bertaubatlah saudariku!
Saat itulah aku melihat sesuatu
yang aneh di wajahnya. Rupanya sedari tadi dia begitu serius mendengar ceramah
singkatku. Sebutir kristal bening jelas kulihat merembes di sudut matanya. Yang
anehnya, karena itu tak sesuai dengan pakaiannya, yang menurut pandanganku
sangat payah untuk bisa meneteskan air mata hanya karena beberapa kata yang
belum bisa dikatakan kata hikmah. Yang lebih terharu lagi, dia menangis dan kemudian
lari meninggalkanku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar