Jumat, 04 April 2014

Ada Tuhan di Malam Itu

Aku tengah duduk seorang diri di dalam kamar. Tidak ada teman. Jam sudah menunjukkan pukul 02.30, dini hari. Aku belum tidur. Aku sudah terbiasa tidur dua jam sebelum waktu subuh, yaitu pukul 03.00. Aku hanya tidur dua jam setiap malam. Aku merasa nyaman dengannya. Meskipun pakar kesehatan mengatakan hal sebaliknya. Aku percaya dengan ungkapan, sedikit dan banyaknya tidur tidak bepengaruh kepada kesehatan, namun kualitas dan tidak berkualitasnyalah yang menentukan. Tidur dalam porsi yang banyak tapi tidak sesuai dengan pola tidur yang diharapkan tak akan memberikan keuntungan. Sebaliknya, tidur ideal dan berkualitas walaupun dengan porsi yang sedikit dapat memberikan andil kepada keadaan kesehatan seseorang. Dan selalu berpikiran positif yang paling mendominasi penyebab kesehatan.

Ketika di dalam kamar tersebut, samar-samar di luar sana tersayup suara percakapan beberapa orang yang tengah bertugas jaga malam, piket. Mereka masih berbicara. Barangkali membahas tentang fenomena kehidupan. Suasana alam sudah sangat sunyi. Sepi. Tak ada lagi suara hiruk pikuk orang belajar menghafal kitab, yang tadi begitu menggelegar. Mereka semua sudah pada tidur. Telah hanyut dibuai mimpi. Mungkin ada yang kembali melanjutkan bahasan belajarnya, di dalam sana, tidur, dengan kawan peserta belajar yang berbeda, atau bertambah sosok yang tadi tak ada waktu belajar di teras musalla. Kadang ada juga peserta belajar yang bahkan tidak dikenal, asing sama sekali. Yang beruntung tentu saja yang didatangi guru sesepuhnya, atau para ulama. Konon lagi waliyullah dan para Nabi. Dan tentu saja, barangkali juga ada yang tengah mendayuh sampan di samudra raya mau menyebrang ke seberang sana, yang kemudian justru jatuh tenggelam ke dalamnya, basah. Mimpi berisi. Anak muda bilang, mimpi nikmat!

Aku masih duduk sendiri. Tak ada pekerjaan apa-apa. Hanya duduk saja. Sambil menatap bintang yang menerobos masuk ke kamarku, lewat jeruji yang ada di kisi-kisi gorden jendela. Sejak dulu aku sangat suka dan senang menikmati keindahan alam yang demikian, yang tersaji saat malam tiba. Aku melihat bintang-gemintang yang bertaburan dengan kerlap kerlipnya. Jutaan planet yang senantiasa setia menemani malam, memenuhi angkasa. Menciptakan sebuah galaksi keindahan yang sangat elok, di antariksa. Sungguh sangat indah sekali. Sayang, keindahan yang amat sangat dan menakjubkan itu sangat sedikit orang yang menikmatinya. Padahal itu gratis. Tidak harus bayar menikmatinya. Keindahannya juga tiada tara anggunnya.

Mereka yang tidak pernah menikmati keindahan alami itu, lebih memilih tidur memasuki alam impian. Padahal suasana malam yang sunyi, sangat efektif dalam membentuk dan melatih serta mengasah daya pikir, yang menjadikan kita mempunyai fikiran yang jenius dan berperasaan halus. Dimana sekiranya kita mempunyai perasaan yang halus dan peka, keindahan hidup makin terasa nikmatnya. Para sastrawan dan pujangga adalah manusia yang mempunyai perasaan sangat sinsetif. Sehingga mereka dapat merasakan getaran alam dan frekuensi kehidupan. Dengan demikian mereka akan lebih menjiwai ketika menyalurkan keadaan hati yang peka tersebut ke dalam tulisan. Tulisan itu menjadi sangat indah, sangat mudah untuk menyentuh hati manusia. Dari keadaan perasaan yang demikian dia dapat merefleksikan pengetahuannya dalam kalimat sastra. Sastra yang indah, tidak kering makna. Sastra yang lahir dari keadaan yang demikian akan sangat dalam maknanya. Dia dapat masuk dan menyusup dalam hati dengan sangat tajam. Makna tulisan yang terkandung dalam sastranya akan mewarnai dunia pada keseluruhan. Bahkan berlanjut pada generasi yang akan datang.

Ketika tengah duduk di malam itu aku bertanya pada diriku sendiri, ketika asyik menyaksikan sang bintang; apa yang ada di belakang bintang itu? Dimana titik terakhir di atas sana?, yang tidak ada lagi sesuatu setelahnya. Dan bagaimana menggambarkan keadaan yang di belakang bintang itu, ketika sampai pada keadaan yang tak ada lagi suatu apa pun. Bukankah tetap akan ada batasan terakhir. Kemudian apa yang ada setelah batasan terakhir sekali itu? Bukankah tetap akan kembali ada pandangan tumpuan mata setelahnya. Nah, yang tidak ada lagi itu bagaimana menggambarkannya? Saya tidak cukup akal memikirkan itu. Otak berhenti untuk dapat menganalisa dan mengupas tentang gambaran keadaan di sana, di alam yang tak ada lagi suatu apaun itu!

Sejurus kemudian pikiranku kembali berlanjut dengan bertanya; di mana titik terdasar dari bumi di bawah sana? Bagaimana menggambarkan titik terbawah itu? Sebagaimana tadi, di belakang bintang, yang tidak ada lagi sesuatu setelahnya. Tetap mandeg! Kemudian fikiran itu berlanjut ke; dimana dinding terakhir dunia sebelah kiri, sebelah kanan, selatan dan utara? Dimana itu semua. Bagaimana menggambarkan keadaannya yang seperti tadi, titik terakhir yang tak ada sesuatu lagi setelahnya? Bagaimana, bagaimana, bagaimana? Masih tetap mandeg, berhenti pada pertanyaan bagaimana!

Semua bagaimana-bagaimana itu tak sanggup aku berikan jawaban. Aku hanya bisa bertanya, dan tak sanggup menjawab. Sehingga fikiranku sampai ke sebuah kesimpulan, inilah yang namanya, Kekuasaan Tuhan.  Di sinilah lemahnya otak manusia. Kemampuan akal sangat terbatas. Semua keadaan tak bisa dijelaskan dengan terang oleh akal dengan ilmiahnya. Tempo-tempo kita berhadapan dengan keadaan yang tak bisa diikutsertakan akal di dalamnya. Dia sudah di kawasan Iman. Akal kalah telak di sana! Maka, untuk menjawab dimana dan bagaimana-bagaimana tadi, saya memberikan penenang sekaligus jawaban kepada fikiran saya, bahwa itu adalah salah satu kemahakuasaan Tuhan. Dia sangat ajaib untuk standar akal manusia. Dari fenomena-fenomena itu kita hanya bisa menyimpulkan bahwa ada sebuah kekuatan yang sangat maha dalam segalanya. Kekuatan itu sanggup menciptakan langit tanpa tiang. Bumi tanpa tempat pijakan. Titik teratas dan terbawah yang tak bisa digambarkan akal di mana beradanya. Kemana hilangnya malam kala siang tiba. Dan kemana perginya siang di saat malam menjelma. Api, kala dipadamkan kemana dia berangkat. Kenapa selalu ada dinamika di setiap zaman dan peradaban. Tidak pernah terjadi ketimpangan. Selalu masih ada orang yang berprosesi sebagai Orang Naik Kelapa, dan Pengiris Nangka di saat ada pesta, di tengah keadaan zaman yang telah sangat modern, dan anak zaman tak lagi suka kepada pekerjaan itu. Selalu ada yang membenahi di setiap propesi dan posisi. Selalu ada penentang Amerika di tengah keadaan kekuatan mereka yang katanya tidak ada tandingan di dunia. Bahkan penentang itu adalah mereka yang sangat kecil dan lemah kekuatannya. Hampir tiap hari mereka dibunuh oleh Amerika, namun tetap masih ada di antara mereka yang tak pernah gentar menghadapi negara yang memproklamirkan diri Adi Kuasa itu.


Itu semua adalah tanda alamiah akan ada sebuah pendesaian kehidupan dengan setiap dinamika dan peradaban setiap zamannya, yang sangat luar biasa kemahakuasaannya. Itulah Allah! Malam itu aku kembali menemukan Allah. Bukan berarti sebelumnya telah hilang. Tapi ditemukan kembali di tengah perjalanan malam, yang memang telah ada Allah. Dialah Tuhan semesta alam. Tidak ada Tuhan selain Dia. Malam itu, ya, masih malam itu. Aku kembali menemukan Tuhan. Ada Tuhan di Malam Itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar