Aku tengah duduk seorang diri di dalam
kamar. Tidak ada teman. Jam sudah menunjukkan pukul 02.30, dini hari. Aku belum
tidur. Aku sudah terbiasa tidur dua jam sebelum waktu subuh, yaitu pukul 03.00.
Aku hanya tidur dua jam setiap malam. Aku merasa nyaman dengannya. Meskipun
pakar kesehatan mengatakan hal sebaliknya. Aku percaya dengan ungkapan, sedikit
dan banyaknya tidur tidak bepengaruh kepada kesehatan, namun kualitas dan tidak
berkualitasnyalah yang menentukan. Tidur dalam porsi yang banyak tapi tidak
sesuai dengan pola tidur yang diharapkan tak akan memberikan keuntungan. Sebaliknya,
tidur ideal dan berkualitas walaupun dengan porsi yang sedikit dapat memberikan
andil kepada keadaan kesehatan seseorang. Dan selalu berpikiran positif yang
paling mendominasi penyebab kesehatan.
Ketika di dalam kamar tersebut, samar-samar
di luar sana tersayup
suara percakapan beberapa orang yang tengah bertugas jaga malam, piket. Mereka
masih berbicara. Barangkali membahas tentang fenomena kehidupan. Suasana alam
sudah sangat sunyi. Sepi. Tak ada lagi suara hiruk pikuk orang belajar menghafal
kitab, yang tadi begitu menggelegar. Mereka semua sudah pada tidur. Telah
hanyut dibuai mimpi. Mungkin ada yang kembali melanjutkan bahasan belajarnya,
di dalam sana, tidur, dengan kawan peserta belajar yang berbeda, atau bertambah
sosok yang tadi tak ada waktu belajar di teras musalla. Kadang ada juga peserta
belajar yang bahkan tidak dikenal, asing sama sekali. Yang beruntung tentu saja
yang didatangi guru sesepuhnya, atau para ulama. Konon lagi waliyullah dan para
Nabi. Dan tentu saja, barangkali juga ada yang tengah mendayuh sampan di samudra
raya mau menyebrang ke seberang sana ,
yang kemudian justru jatuh tenggelam ke dalamnya, basah. Mimpi berisi. Anak
muda bilang, mimpi nikmat!
Aku masih duduk sendiri. Tak ada
pekerjaan apa-apa. Hanya duduk saja. Sambil menatap bintang yang menerobos
masuk ke kamarku, lewat jeruji yang ada di kisi-kisi gorden jendela. Sejak dulu
aku sangat suka dan senang menikmati keindahan alam yang demikian, yang tersaji
saat malam tiba. Aku melihat bintang-gemintang yang bertaburan dengan kerlap
kerlipnya. Jutaan planet yang senantiasa setia menemani malam, memenuhi angkasa.
Menciptakan sebuah galaksi keindahan yang sangat elok, di antariksa. Sungguh
sangat indah sekali. Sayang, keindahan yang amat sangat dan menakjubkan itu
sangat sedikit orang yang menikmatinya. Padahal itu gratis. Tidak harus bayar
menikmatinya. Keindahannya juga tiada tara
anggunnya.
Mereka yang tidak pernah menikmati
keindahan alami itu, lebih memilih tidur memasuki alam impian. Padahal suasana
malam yang sunyi, sangat efektif dalam membentuk dan melatih serta mengasah
daya pikir, yang menjadikan kita mempunyai fikiran yang jenius dan berperasaan
halus. Dimana sekiranya kita mempunyai perasaan yang halus dan peka, keindahan
hidup makin terasa nikmatnya. Para sastrawan
dan pujangga adalah manusia yang mempunyai perasaan sangat sinsetif. Sehingga
mereka dapat merasakan getaran alam dan frekuensi kehidupan. Dengan demikian
mereka akan lebih menjiwai ketika menyalurkan keadaan hati yang peka tersebut
ke dalam tulisan. Tulisan itu menjadi sangat indah, sangat mudah untuk
menyentuh hati manusia. Dari keadaan perasaan yang demikian dia dapat merefleksikan
pengetahuannya dalam kalimat sastra. Sastra yang indah, tidak kering makna.
Sastra yang lahir dari keadaan yang demikian akan sangat dalam maknanya. Dia
dapat masuk dan menyusup dalam hati dengan sangat tajam. Makna tulisan yang
terkandung dalam sastranya akan mewarnai dunia pada keseluruhan. Bahkan berlanjut
pada generasi yang akan datang.
Ketika tengah duduk di malam itu
aku bertanya pada diriku sendiri, ketika asyik menyaksikan sang bintang; apa
yang ada di belakang bintang itu? Dimana titik terakhir di atas sana ?, yang tidak ada lagi
sesuatu setelahnya. Dan bagaimana menggambarkan keadaan yang di belakang
bintang itu, ketika sampai pada keadaan yang tak ada lagi suatu apa pun.
Bukankah tetap akan ada batasan terakhir. Kemudian apa yang ada setelah batasan
terakhir sekali itu? Bukankah tetap akan kembali ada pandangan tumpuan mata
setelahnya. Nah, yang tidak ada lagi itu bagaimana menggambarkannya? Saya tidak
cukup akal memikirkan itu. Otak berhenti untuk dapat menganalisa dan mengupas
tentang gambaran keadaan di sana ,
di alam yang tak ada lagi suatu apaun itu!
Sejurus kemudian pikiranku kembali
berlanjut dengan bertanya; di mana titik terdasar dari bumi di bawah sana ? Bagaimana
menggambarkan titik terbawah itu? Sebagaimana tadi, di belakang bintang, yang
tidak ada lagi sesuatu setelahnya. Tetap mandeg! Kemudian fikiran itu berlanjut
ke; dimana dinding terakhir dunia sebelah kiri, sebelah kanan, selatan dan
utara? Dimana itu semua. Bagaimana menggambarkan keadaannya yang seperti tadi,
titik terakhir yang tak ada sesuatu lagi setelahnya? Bagaimana, bagaimana,
bagaimana? Masih tetap mandeg, berhenti pada pertanyaan bagaimana!
Semua bagaimana-bagaimana itu tak
sanggup aku berikan jawaban. Aku hanya bisa bertanya, dan tak sanggup menjawab.
Sehingga fikiranku sampai ke sebuah kesimpulan, inilah yang namanya, Kekuasaan
Tuhan. Di sinilah lemahnya otak manusia.
Kemampuan akal sangat terbatas. Semua keadaan tak bisa dijelaskan dengan terang
oleh akal dengan ilmiahnya. Tempo-tempo kita berhadapan dengan keadaan yang tak
bisa diikutsertakan akal di dalamnya. Dia sudah di kawasan Iman. Akal kalah
telak di sana !
Maka, untuk menjawab dimana dan bagaimana-bagaimana tadi, saya memberikan
penenang sekaligus jawaban kepada fikiran saya, bahwa itu adalah salah satu
kemahakuasaan Tuhan. Dia sangat ajaib untuk standar akal manusia. Dari
fenomena-fenomena itu kita hanya bisa menyimpulkan bahwa ada sebuah kekuatan
yang sangat maha dalam segalanya. Kekuatan itu sanggup menciptakan langit tanpa
tiang. Bumi tanpa tempat pijakan. Titik teratas dan terbawah yang tak bisa
digambarkan akal di mana beradanya. Kemana hilangnya malam kala siang tiba. Dan
kemana perginya siang di saat malam menjelma. Api, kala dipadamkan kemana dia
berangkat. Kenapa selalu ada dinamika di setiap zaman dan peradaban. Tidak pernah
terjadi ketimpangan. Selalu masih ada orang yang berprosesi sebagai Orang Naik
Kelapa, dan Pengiris Nangka di saat ada pesta, di tengah keadaan zaman yang
telah sangat modern, dan anak zaman tak lagi suka kepada pekerjaan itu. Selalu
ada yang membenahi di setiap propesi dan posisi. Selalu ada penentang Amerika
di tengah keadaan kekuatan mereka yang katanya tidak ada tandingan di dunia. Bahkan
penentang itu adalah mereka yang sangat kecil dan lemah kekuatannya. Hampir
tiap hari mereka dibunuh oleh Amerika, namun tetap masih ada di antara mereka
yang tak pernah gentar menghadapi negara yang memproklamirkan diri Adi Kuasa
itu.
Itu semua adalah tanda alamiah akan
ada sebuah pendesaian kehidupan dengan setiap dinamika dan peradaban setiap
zamannya, yang sangat luar biasa kemahakuasaannya. Itulah Allah! Malam itu aku
kembali menemukan Allah. Bukan berarti sebelumnya telah hilang. Tapi ditemukan
kembali di tengah perjalanan malam, yang memang telah ada Allah. Dialah Tuhan
semesta alam. Tidak ada Tuhan selain Dia. Malam itu, ya, masih malam itu. Aku
kembali menemukan Tuhan. Ada Tuhan di Malam Itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar